Membaca dengan seksama laporan Tempo terkait Judi Online yang dikelola oleh elit politik dan pengusaha Indonesia yang server dan pengelolaannya di Kamboja, kesimpulan saya; kita emang bangsa yang sakit. Elit politik, pengusaha, dan aparatus keamanannya ingin cari untung sebanyak-banyaknya dan pelbagai lapisan kelas masyarakat Indonesia ingin mencari keberuntungan sekuat-kuatnya di tengah norma Islam sebagai agama mayoritas yang melarang hal tersebut.
Akibatnya, aktivisme online melalui telepon genggam menjadi suatu hal yang privat sekaligus tertutup, yang siapapun tidak bisa menggerebek apa yang sedang dilakukan oleh individu masyarakat. Namun, dalam level kelas bawah, apalagi yang sudah menikah, sebuah keluarga bisa tahu terkait dengan mengapa duit gaji suami tiba-tiba langsung habis, sementara tidak ada barang yang dibelanjakan? Akibatnya, konflik sekaligus kejahatan berputar-putar dalam lingkaran mikro sosial dalam bentuk keluarga.
Di tengah ketidakmampuan untuk memenuhi hasrat berjudi online, kita dihadapkan dengan layanan pinjaman online yang sangat mudah sekali. Dengan cukup memberikan jaminan KTP dan tiga nama nomor hp sebagai jaminan, kita bisa meminjam uang sebesar Rp. 10-50 juta. Pinjaman yang mudah itu dengan cepat menguap juga di tengah tawaran judi online yang menggiurkan, dengan janji-janji kemenangan. Di sisi lain, kita tidak memiliki figur seorang agamawan dalam ormas Islam yang bisa dijadikan pijakan di tengah terlenanya mereka mendapatkan pengelolaan izin tambang.
.Acapkali saya mendengar terkait pekerja kelas bawah yang tiba-tiba menghilang dari tempat pekerjaannya. Ini tidak hanya di tempat-tempat cukur langganan saya tetapi juga di tempat institusi pekerjaan yang menerima para pekerja prekariat. Lingkarannya tetap sama; iseng-iseng main judi online lalu menghabiskan uang tabungan dan gaji. Setelah habis, mereka akan gunakan platform pinjol. Ketika sudah tidak bisa digunakan lagi, mereka akan ambil duit kas tempat mereka kerja dan kemudian melarikan diri dan menghilang.
Kalau diamati, ini tampak hanya kasus individual saja tetapi jika dilihat dari data Tempo itu merupakan gejala sosial yang massif. Ini karena, hampir 10 juta orang Indonesia bermain judi online dan berputaran dari judi online itu sekitar Rp 51,3 Triliun. Dengan sistem yang canggih, domain judi online ini bisa tiba-tiba tumbuh dengan dengan cepat sekali ketika pihak institusi pemerintah Indonesia kemudian membubarkan. Di beberapa kota di Kamboja, para pekerja mereka kebanyakan dari Indonesia. Jumlahnya tidak hanya 10-100 orang, tetapi lebih dari angka 1000 orang yang bekerja dengan kisaran gaji Rp. 10-30 juta, sehingga membentuk semacam kampung-kampung Indonesia.
Pertanyannya, apakah pemerintah melalui aparatus keamanannya benar-benar secara keras ingin memberantas Judi Online? Ini sebenarnya pertanyaan mudah tetapi menjadi sulit karena ada silang sengkarut kekuasaan dengan lapisan-lapisan jaringan di dalamnya di tengah derasnya kucuran duit yang kerapkali tidak berseri. Karena itu, judi online akan selalu eksis. Meskipun demikian, satu persatu orang-orang terdekat dan dalam lingkaran kita akan terjerat dalam lingkaran setan ini pelan-pelan. Kalau tidak ada antisipasi dari pemerintah dan intervensi masyarakat sipil, termasuk ormas keagamaan, niscaya, kita hanya nunggu kiamat dunia menghampiri basis jaringan lingkaran orang-orang terdekat kita.
Sumber : https://www.facebook.com/share/p/19VjMacf97/

