Dalam perkembangan psikologi modern, pendekatan humanistik sering kali diidentikkan dengan pencarian diri dan pengembangan potensi individu. Namun, pemahaman yang keliru terhadap konsep ini dapat mengarah pada fokus yang terlalu besar pada rasa “percaya diri” tanpa memperkuat rasa “percaya kepada Allah SWT.” Hal ini menarik untuk dicermati, terutama ketika kita mengingat bahwa Abraham Maslow, dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan, akhirnya menambahkan dimensi transpersonal—sebuah pengakuan bahwa kebutuhan spiritual juga penting dalam perjalanan hidup manusia.
Kepercayaan diri memang penting. Ia memberikan individu kekuatan untuk menghadapi tantangan, mengejar impian, dan berkontribusi pada masyarakat. Namun, jika kepercayaan diri ini tidak diimbangi dengan kesadaran spiritual dan hubungan dengan Sang Pencipta, kita mungkin terjebak dalam ego dan materialisme yang pada akhirnya tidak memberikan kepuasan sejati. Keberhasilan yang dicapai tanpa landasan spiritual sering kali bersifat sementara dan tidak dapat memenuhi kebutuhan terdalam kita.
Maslow menyadari bahwa aktualisasi diri—yang merupakan puncak dari hierarki kebutuhannya—tidak cukup untuk menjelaskan seluruh kompleksitas pengalaman manusia. Dengan menambahkan kebutuhan transpersonal, ia mengajak kita untuk mempertimbangkan aspek spiritual yang lebih tinggi. Kebutuhan ini menggugah kita untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri, baik itu melalui iman, komunitas, atau pengalaman transendental.
Dalam konteks ini, kita perlu mencari keseimbangan. Kepercayaan kepada Allah SWT tidak hanya memberikan makna dan tujuan dalam hidup, tetapi juga menciptakan fondasi yang kokoh bagi rasa percaya diri. Ketika individu merasa terhubung dengan Tuhan, mereka dapat melihat diri mereka bukan sekadar sebagai individu yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari ciptaan yang lebih besar. Ini membantu menumbuhkan rasa syukur dan kerendahan hati, yang pada gilirannya memperkuat kepercayaan diri dengan cara yang sehat dan berkelanjutan.
Dengan demikian, mari kita refleksikan kembali pendekatan kita terhadap pengembangan diri. Kita tidak perlu memilih antara kepercayaan diri dan kepercayaan kepada Allah, tetapi sebaliknya, kita harus mengintegrasikan keduanya. Dalam pencarian akan potensi diri, mari kita ingat bahwa spiritualitas dan kepercayaan akan membawa kita pada aktualisasi yang lebih utuh dan bermakna.
Ketika kita memperkuat kepercayaan kepada Allah SWT, kita tidak hanya membangun rasa percaya diri yang lebih dalam, tetapi juga menciptakan harmoni dalam hidup kita. Inilah benang merah yang perlu kita gali dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

