Di dalam ruang sidang yang penuh ketegangan, dua pengacara perempuan beradu argumen. Di satu sisi, ada pengacara yang mewakili korban pelecehan seksual, sementara di sisi lain, pengacara perempuan yang mendampingi pelaku. Suasana semakin tegang ketika korban, dengan suara bergetar, memberikan kesaksian.
“Apakah dirimu tidak pernah mengalami pelecehan seksual seperti diriku ini?” tanyanya kepada pengacara pelaku. Ruang sidang seakan terdiam, semua mata tertuju pada pengacara tersebut. Namun, dia hanya terdiam, tidak mampu memberikan jawaban.
Setelah persidangan usai, korban menghampiri pengacara yang mendampingi pelaku. Dengan nada penuh emosi, ia bertanya, “Apakah Anda pernah diperlakukan pelecehan seksual? Kenapa Anda diam? Saya melaporkan pria itu karena dia telah kurang ajar kepada saya. Tolong, jangan diam. Anda sebagai pengacara, seharusnya membela orang yang benar, bukan orang yang salah.”
Dihadapkan pada pertanyaan yang menggugah kesadaran, pengacara itu merasakan beban yang berat. Dalam hati, ia berjuang dengan pikirannya sendiri. Akhirnya, karena tidak bisa lagi menanggung perasaan bersalah, ia memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai pendamping pria yang dituduh.
Setelah pengunduran diri, pengacara tersebut menceritakan kisah pribadinya kepada korban. “Saya juga pernah menjadi korban pelecehan seksual, oleh rekan pengacara saya sendiri,” katanya dengan suara bergetar. “Namun, saya tidak pernah melaporkan kejadian itu. Saya tidak akan menuntut keadilan di pengadilan. Biar keadilan datang dengan sendirinya.”
Korban menatapnya dengan tatapan penuh kebingungan. “Tapi, mengapa Anda tidak berjuang untuk keadilan seperti saya? Kenapa Anda memilih untuk diam?”
Pengacara itu berhenti sejenak, merenung. “Karena saya ingin membuktikan bahwa meskipun saya pernah menjadi korban, saya tidak ingin membiarkan pengalaman itu mendefinisikan siapa saya. Saya percaya bahwa keadilan akan datang, entah bagaimana caranya. Saya memilih untuk menyembuhkan diri saya sendiri, dan menciptakan perubahan dari dalam.”
Kedua perempuan itu saling memandang, masing-masing merasakan beratnya beban yang mereka pikul. Dalam keheningan itu, mereka memahami bahwa meskipun jalan mereka berbeda, tujuan mereka sama: mencari keadilan dan menciptakan dunia yang lebih baik untuk semua perempuan.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa dalam perjuangan melawan pelecehan seksual, keberanian untuk berbicara dan menciptakan solidaritas di antara sesama perempuan adalah langkah awal menuju keadilan.

