Oleh; Endah Sri Rahayu
Pada malam Jumat Kliwon kemarin, handphoneku berdering memecah keheningan kamar. Suara panggilan masuk menggema di antara gelap dan sunyi malam. Di dalam kamar yang hanya diterangi lampu redup, bayangan benda-benda berbaur dengan dingin yang merambat di dinding.
Aku menghampiri handphone yang tergeletak sedang mengisi daya di samping buku yang terbuka separuh halaman. Dengan cepat, ku geser layar untuk menjawab panggilan itu.
“Assalammualaikum, Mas,” sapaku lembut.
“Waalaikumsalam, Dik. Sedang apa?” balas suara dari seberang dengan ramah.
Obrolan kami dimulai dari basa-basi sederhana hingga akhirnya mengarah ke percakapan yang lebih serius.
“Mas, aku ingin bertanya serius. Secara penampilan, Mas ini tampan dan secara materi berkecukupan. Mengapa Mas tidak mencari yang sepadan?. Minimal secara penampilan. Serius loh ini aku tanya,” tanyaku dengan nada penuh penasaran.
“Begini, Dik. Jika mencari yang lebih, itu tidak akan ada habisnya. Mas tidak kekurangan, secara materi ya alhamdulillah. Mas mencari yang sefrekuensi, feel-nya dapat. Penampilan dan materi itu bonus. Mencari yang feel dan sefrekuensi serta attitudenya bagus itu tak mudah,” jawabnya dengan bijak.
Aku terdiam sejenak, mencerna kata-katanya yang sederhana namun penuh makna.
“Sekarang gantian Mas tanya, mengapa kamu belum mau nikah? Apa yang ditakutkan?” tanyanya balik.
Aku terdiam lebih lama kali ini, menahan segala rasa sedih yang selama ini terpendam. Dengan suara bergetar, aku mulai berbicara.
“Mas, begini. Sebagai anak perempuan pertama dan satu-satunya, aku menyadari tanggung jawab dalam rumah. Bukan sebagai beban, tapi lebih sebagai amanah. Sejatinya kita sebagai anak hidup dalam kisah rumah tangga orang tua. Walaupun tidak hancur-hancur banget, ada sisi di mana aku tidak ingin mendapatkan jodoh seperti Bapak, atau memiliki keluarga ipar seperti keluarga dari pihak Mamah.”
Suasana seketika hening. Hanya suara detik jam di dinding yang menemani, berusaha menenangkan hatiku yang bergejolak.
“Dik, Mas paham. Allah itu akan menjodohkan seseorang yang bisa mengayomi istrinya. Kamu itu tinggal kasih kepercayaan sama orang itu dan yakin sama Allah,” ujarnya, berusaha menenangkan.
“Bukan tak mau memberi kepercayaan, Mas. Aku yakin sama Allah. Tapi untuk saat ini aku ada rasa belum siap. Bukan satu dua kali aku memberi kepercayaan pada pria. Apa yang diucapkan, aku berusaha yakin bahwa dia akan mengusahakan. Tapi Allah memiliki cara sendiri dalam menguji. Lagi dan lagi, Sisi ku yang diuji. Allah memberi tahu dengan caraNya apakah ucapan pria itu akan dijalankan atau hanya sekadar ucapan. Pada nyatanya, saat sisi aku yang diuji, aku dihadapkan dengan ego dan gengsi pria. Sedangkan aku butuh support, bahkan kehadiran orang tersebut. Tapi malah dibenturkan dengan ego prioritas. Maka saat ini aku belum siap jika harus merasakan hal yang sama lagi.”
Suara tangisku akhirnya pecah, tak mampu lagi ku tahan. Di seberang, Dia tetap mendengarkan dengan sabar, memberi ruang bagi emosiku yang tumpah.
“Dik, Mas ngerti. Allah tak pernah salah dalam memberi ujian. Mungkin saat ini kamu merasa lelah, tapi nanti ada seseorang yang Allah persiapkan yang akan benar-benar mengayomi dan mendukung kamu. Percaya sama itu, ya?”
Aku mengangguk meski dia tak bisa melihat. Malam itu, obrolan kami menjadi pengingat bahwa meski hidup penuh dengan ujian dan kekecewaan, Allah selalu punya rencana terbaik.
Di luar, angin malam merayap di sela dedaunan. Sepi masih membalut kamar, tapi hatiku terasa lebih lapang, seolah beban yang kusimpan mulai luruh bersama keyakinan yang kembali bertumbuh.
Sejenak setelah panggilan berakhir, aku menatap langit-langit kamar yang redup. Pikiranku melayang-layang antara kenangan dan harapan. Kata-kata Mas menggema dalam hati. Ada benarnya, aku hanya perlu percaya bahwa setiap ujian adalah bagian dari perjalanan menuju kebahagiaan yang lebih sejati.
Aku teringat doa-doaku yang selalu ku bisikkan sebelum tidur. Malam ini, doa itu terasa lebih bermakna. “Ya Allah, kuatkan hati ini. Jodohkan aku dengan seseorang yang Engkau pilihkan, yang bisa menjadi teman dalam suka dan duka, dan yang akan membimbingku mendekat kepada-Mu.”
Lampu yang temaram memantulkan bayangan lembut di dinding. Aku tersenyum tipis, meski hatiku belum sepenuhnya lega. Namun, malam itu aku memilih untuk percaya bahwa waktu dan takdir akan menemukan jalannya sendiri.

