Sengaja menjauh menahan diri. Dalam hatiku, ada rasa yang tumbuh, seperti benih yang ditanam di tanah subur, namun terhalang oleh pagar yang tinggi. Aku tahu diri, memiliki rasa yang dalam, tetapi tak mampu untuk bersama.
Setiap kali kita bertemu, ada getaran yang tak bisa kuabaikan. Senyummu mampu membuat jantungku berdegup kencang, tetapi kesadaran akan batasan membuatku mundur. Sehingga, aku menghilang sejenak dari dirimu.
Hari-hari berlalu, aku hanya bisa mengintip dari jauh. Melihatmu tertawa, berbincang dengan teman-temanmu, merasakan kebahagiaan yang tak bisa ku sentuh. Aku tahu rasa itu hadir, tetapi aku tak ingin menjadi beban.
Di suatu malam, saat bintang-bintang bersinar cerah, aku duduk sendiri di tepi jendela. Kenangan akanmu datang menghampiri, seperti bayangan yang tak bisa ku lepaskan. Dalam keremangan, aku menulis surat yang tak akan pernah kukirimkan.
“Seandainya aku bisa mengungkapkan semua ini, seandainya kau tahu betapa aku mengagumimu tanpa syarat. Tetapi aku memilih untuk menjaga jarak, karena aku tahu kebahagiaanmu lebih penting.”
Esok harinya, aku melihatmu dari jauh lagi. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Dalam kerumunan, pandangan kita bertemu. Dalam sekejap, semua keraguan meluruh.
Kau tersenyum, dan aku merasakan detak jantungku melambung. Mungkin, jarak ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sesuatu yang baru. Dengan tekad yang baru, aku bersiap untuk melangkah maju, meski ketakutan masih menyelimuti.
“Aku akan mencari cara untuk mendekat, untuk mengatasi rasa ini,” bisikku pada diri sendiri. Mungkin, cinta tak selalu tentang memiliki, tetapi tentang berani untuk mencoba.

