Dalam perdebatan ketenagakerjaan, isu kenaikan upah kerap menjadi sorotan utama. Angkanya diperdebatkan, persentasenya diperebutkan, dan momentumnya dinanti setiap akhir tahun. Namun, di balik hiruk-pikuk tersebut, ada persoalan yang jauh lebih mendasar dan sering luput dari perhatian: kepastian kerja.
Kenaikan upah, setinggi apa pun, tidak akan bermakna bila pekerja hidup dalam ketidakpastian hubungan kerja. Status kontrak jangka pendek, outsourcing berkepanjangan, hingga ancaman pemutusan hubungan kerja sewaktu-waktu membuat upah hanya menjadi solusi sementara. Hari ini upah naik, esok pekerjaan bisa hilang. Dalam kondisi seperti ini, kesejahteraan tidak pernah benar-benar hadir—yang ada hanya bertahan hidup dari satu kontrak ke kontrak berikutnya.
Kepastian kerja bukan sekadar soal memiliki pekerjaan hari ini, tetapi tentang jaminan keberlanjutan hidup. Dengan status kerja yang jelas dan aman, pekerja memiliki ruang untuk merencanakan masa depan: pendidikan anak, kesehatan keluarga, hingga kehidupan sosial yang layak. Tanpa kepastian tersebut, pekerja terjebak dalam siklus cemas yang melemahkan daya tawar dan martabat mereka sebagai manusia kerja.
Ironisnya, kebijakan ketenagakerjaan sering kali lebih sibuk mengatur angka upah ketimbang memastikan kualitas hubungan kerja. Padahal, hubungan kerja yang adil dan berkelanjutan adalah fondasi dari produktivitas dan stabilitas ekonomi itu sendiri. Perusahaan yang mengandalkan fleksibilitas berlebihan justru menciptakan ketidakpastian yang merugikan semua pihak, termasuk dunia usaha dalam jangka panjang.
Karena itu, perjuangan pekerja semestinya menempatkan kepastian kerja sebagai prioritas utama, bukan pelengkap isu pengupahan. Upah layak dan kepastian kerja bukan dua hal yang saling meniadakan, melainkan saling menguatkan. Tanpa kepastian kerja, upah layak kehilangan maknanya. Dan tanpa upah layak, kepastian kerja kehilangan keadilannya.
Sudah saatnya arah kebijakan ketenagakerjaan berpihak pada hubungan kerja yang manusiawi: jelas statusnya, aman keberlanjutannya, dan adil perlakuannya. Sebab kesejahteraan sejati tidak lahir dari angka upah semata, melainkan dari rasa aman untuk bekerja dan hidup dengan bermartabat.
