Setiap pagi, jutaan pekerja memulai hari dengan rute yang sama: dari kontrakan sempit menuju pabrik, lalu kembali lagi ke kontrakan yang sama saat malam tiba. Hari demi hari, tahun demi tahun. Tidak ada perubahan berarti, kecuali usia yang bertambah dan tenaga yang perlahan berkurang. Inilah realitas kehidupan sebagian besar pekerja di negeri ini—hidup yang berputar di satu lingkaran sempit: kontrakan–pabrik–kontrakan.
Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), bahkan yang disebut UMK plus, sering dipromosikan sebagai bukti keberpihakan pada kesejahteraan pekerja. Namun dalam praktiknya, UMK lebih berfungsi sebagai alat bertahan hidup, bukan tangga untuk naik kelas. Setelah dipotong biaya kontrakan, makan, transportasi, listrik, air, pulsa, dan cicilan, nyaris tak ada ruang untuk menabung, apalagi merencanakan masa depan.
UMK plus terdengar manis di atas kertas, tetapi pahit di dompet. Kenaikan upah yang hanya sedikit di atas inflasi sekadar menjaga pekerja agar tidak tenggelam sepenuhnya, bukan mengangkat mereka ke permukaan. Pekerja tetap hidup, tetapi tidak pernah benar-benar sejahtera. Mereka tidak jatuh, tetapi juga tidak pernah melompat.
Dan dari tahun ke tahun berikutnya, hidup justru semakin berat. Kebutuhan terus bertambah seiring bertambahnya anggota keluarga anak yang tumbuh, biaya pendidikan yang meningkat, kebutuhan kesehatan yang tak terhindarkan. Sementara itu, upah tetap bergerak di garis minimum. Yang bertambah hanyalah beban, bukan daya tahan.
Lebih ironis lagi, kondisi hidup yang serba minim ini membuat pekerja rentan terhadap penyakit dan kelelahan. Ketika kesehatan terganggu, produktivitas ikut menurun. Namun rendahnya produktivitas sering kali dijadikan alasan untuk menahan kenaikan upah. Terjadilah lingkaran setan: upah minimum melahirkan kehidupan minimum, kehidupan minimum melemahkan kesehatan dan produktivitas, lalu produktivitas rendah kembali dijadikan pembenar untuk mempertahankan upah minimum.
Banyak pekerja menjalani kondisi ini selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Loyalitas, produktivitas, dan pengorbanan waktu tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas hidup. Rumah tetap kontrakan. Pendidikan anak serba pas-pasan. Jaminan hari tua penuh ketidakpastian. Sementara itu, nilai kerja mereka terus menyumbang keuntungan bagi industri dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Masalah utamanya bukan semata angka UMK, melainkan cara negara dan pengusaha memandang kerja dan pekerja. Jika upah hanya dihitung berdasarkan “kebutuhan hidup minimum”, maka pekerja sejak awal diposisikan untuk hidup minimum cukup makan, cukup tidur, lalu kembali bekerja. Tidak ada visi agar pekerja bisa memiliki rumah layak, tabungan, kesehatan yang terjaga, atau mobilitas sosial.
Realitas kontrakan–pabrik–kontrakan adalah cermin kegagalan kita melihat pekerja sebagai manusia seutuhnya. Mereka bukan sekadar faktor produksi, bukan angka dalam rumus pengupahan, melainkan warga negara yang berhak atas kehidupan yang bermartabat dan masa depan yang lebih baik.
Selama kebijakan pengupahan hanya bertujuan menjaga stabilitas biaya dan iklim investasi, siklus ini akan terus berulang. Dan selama itu pula, jutaan pekerja akan terus berjalan di jalur yang sama bekerja keras tanpa pernah benar-benar sampai ke tujuan bernama kesejahteraan.
Pertanyaannya sederhana:
apakah kerja keras memang hanya ditakdirkan untuk bertahan hidup, bukan untuk hidup dengan layak?

