Setiap kali kebijakan pengupahan diumumkan, yang terdengar bukan suara buruh, melainkan deretan angka. PP Pengupahan 2026 kembali menegaskan kecenderungan lama: upah diperlakukan sebagai persoalan teknokratis, bukan sebagai hak dasar pekerja untuk hidup layak.
Pemerintah menyusun pengupahan dengan rumus inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan variabel alfa. Namun di balik formula itu, ada jutaan buruh yang hidupnya tak pernah mengikuti grafik ekonomi. Biaya pangan naik, sewa rumah melonjak, pendidikan dan kesehatan kian mahal, sementara upah selalu tertinggal. Kesenjangan inilah yang membuat kebijakan pengupahan terasa asing di meja makan buruh.
Masalahnya bukan sekadar besaran kenaikan upah, tetapi cara berpikir yang melandasinya. Negara masih memandang buruh sebagai biaya produksi yang harus ditekan demi menjaga iklim investasi. Dalam logika ini, keuntungan dilindungi, sementara kesejahteraan pekerja dinegosiasikan. Keterjajahan pemikiran semacam ini melahirkan kebijakan yang legal, tetapi tidak adil.
PP Pengupahan 2026 juga hadir di tengah realitas kerja yang rapuh: kontrak berkepanjangan, outsourcing tanpa kepastian, dan ancaman PHK yang terus menghantui. Tanpa perlindungan kerja yang kuat, kenaikan upah sekecil apa pun kehilangan makna. Buruh diminta bersabar, sementara ketidakpastian dinormalisasi.
Serikat pekerja menegaskan bahwa upah bukan belas kasihan negara atau pengusaha, melainkan hak konstitusional. Pengupahan seharusnya menjadi alat keadilan sosial, bukan sekadar penyeimbang kepentingan pasar. Negara memiliki kewajiban moral dan politik untuk memastikan pekerja memperoleh penghidupan yang layak, sebagaimana amanat konstitusi.
Jika PP Pengupahan terus disusun tanpa keberpihakan, kesejahteraan akan tetap menjadi jargon, bukan kenyataan. Pembangunan yang mengorbankan buruh bukanlah kemajuan, melainkan pengulangan ketimpangan.
Karena itu, perjuangan belum selesai. Buruh harus bersatu, berserikat, dan terus menyuarakan keadilan. Sebab tidak ada kesejahteraan tanpa keberanian melawan kebijakan yang menjauh dari manusia.
Upah layak adalah hak, bukan pilihan.

