Oleh : Dhani Duankz
Ada satu buku di dunia ini yang kuberikan sampul paling sederhana, namun isinya paling sanggup membuat lututku gemetar. Bukan karya sastra tebal yang penuh misteri, bukan pula buku sejarah kelam yang diwarnai darah. Itu adalah Buku Catatan Amalku sendiri.
Paradoksnya sungguh menyayat: aku adalah penulis tunggalnya. Setiap baris, setiap kata, setiap jeda, adalah hasil dari tindakanku, pikiranku, dan bahkan bisikan hatiku. Aku yang memegang pena, aku yang memilih tinta, dan aku yang mengisi setiap lembar kosong itu dengan kisah hidupku.
Namun, justru buku itulah yang paling kutakuti untuk kubuka.
Ia bukan berisi fiksi yang bisa kuakhiri dengan menutup halaman. Ia adalah rekaman jujur yang tak bisa disunting. Setiap kali tanganku terulur untuk menyentuh sampulnya, sekelebat bayangan kesalahan, kelalaian, dan janji-janji yang tak tertunaikan ikut menyergap. Di sana tertera jelas: betapa seringnya aku abai pada hal-hal kecil yang berarti, betapa ringannya aku melontarkan kata yang melukai, dan betapa cepatnya aku lupa pada Sang Pemberi hidup.
Membuka buku ini sama artinya dengan menatap lurus ke dalam cermin jiwaku yang paling telanjang. Aku tahu, di sana bukan hanya tertulis amal baik yang membesarkan hati, tapi juga “dosa-dosa kecil” yang tersembunyi, yang bahkan mungkin sudah kulupakan, namun setia tercatat.
Ketakutan ini, sebenarnya bukan datang dari bukunya, melainkan dari kesadaran diri. Kesadaran bahwa segala pengorbanan dan kebaikan yang kurasa sudah kubuat, mungkin belum sebanding dengan kelalaian yang sengaja atau tak sengaja kulakukan.
Maka, kini aku memandangnya. Buku yang paling kutakuti, namun harus kubaca. Bukan untuk menambah daftar ketakutan, melainkan untuk menjadi kompas dan pengingat. Pengingat bahwa selama pena itu masih kugenggam—selama nafasku masih berhembus—aku masih punya waktu untuk menuliskan babak penutup yang lebih baik, lebih tulus, dan lebih berani, sehingga kelak, saat buku itu benar-benar ditutup, aku bisa menerimanya dengan hati yang lebih tenang.

