oleh : Endah Sri Rahayu
Sekian musim, aku duduk di tepi sepi sambil menyulam luka dengan benang doa.
Ku biarkan hati bernafas perlahan seperti tanah yang menunggu hujan.
Lalu, setitik getar datang tanpa permisi menyalakan cahaya kecil di ruang gelapku.
Namun di balik nyala itu, bayang-bayang ketakutan menjulang tinggi.
Datang tanpa kendali, ungkapan itu mendobrak dan menyergap tangisku lebih dahulu
Bukan karena indah, melainkan karena sadar jalan kami tak bertemu di ujung horizon.
Sekat tak nyata berdiri tinggi di antara langkah kami. Kiblat doa sama, namun langkah berbeda.
Perbedaan itu perlahan menjadikan jalan kesadaran semakin terang.
Aku mendidik hati untuk melepaskan, bahwa tidak semua rasa gebu membawa restu semesta.
Ada rasa yang cukup kusimpan sebagai rahasia doa, agar ia tidak beranak-pinak melampaui batasnya.
Biarlah ia bersemayam dalam sunyi abadi.

