Oleh: Ono Kartono
Sudah lebih dari dua dekade perjalanan bangsa ini dikendalikan oleh sistem demokrasi. Demokrasi yang pada awalnya diharapkan menjadi jalan menuju kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran, justru kini memperlihatkan wajah yang berbeda. Setelah 27 tahun, hasil akhirnya tidak sedikit menimbulkan kekecewaan.
Korupsi, yang seharusnya diberantas, justru semakin merajalela. Para koruptor semakin banyak, bahkan seolah mendapatkan ruang dan panggung baru. Mafia pun berkembang dalam berbagai sektor—mulai dari energi, mineral, judi, hingga hukum. Seakan-akan demokrasi memberi lahan subur bagi mereka yang lihai memainkan kepentingan.
Kolusi terjadi di segala bidang, sementara nepotisme telah bertransformasi menjadi dinasti politik. Apa yang dulu dikritik keras saat era sebelumnya, kini justru dipelihara dan dilegalkan dalam bingkai demokrasi. Kekuasaan semakin dikuasai oleh segelintir elit melalui praktik oligarki yang masif, membuat rakyat biasa hanya menjadi penonton.
Ironisnya, demokrasi belum berhasil mengangkat taraf hidup rakyat banyak. Jumlah orang miskin justru bertambah, kesenjangan sosial ekonomi makin menganga. Kehidupan masyarakat terasa kian transaksional, pragmatis, dengan karakter yang penuh kecemasan dan kekhawatiran akan masa depan. Demokrasi, yang seharusnya memberi rasa aman, justru menciptakan kegelisahan kolektif.
Lebih jauh lagi, kepemilikan atas aset dan saham yang seharusnya menjadi milik bangsa Indonesia perlahan berpindah tangan. Atas nama demokrasi, akses ekonomi, sosial, dan politik kini banyak dikuasai oleh kelompok tertentu yang secara formal memang warga negara, namun tidak benar-benar merepresentasikan jati diri bangsa Indonesia.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah demokrasi yang kita jalani benar-benar menjadi sistem terbaik bagi bangsa ini? Atau justru ia telah menjadi alat bagi segelintir orang untuk memperkaya diri dan kelompoknya, sementara rakyat kebanyakan dibiarkan semakin terpinggirkan?
Ngopi pagi di Bekasi, 3 September 2025

