Dalam menghadapi konflik antara kebenaran dan kebathilan, sikap netral sering kali dipandang sebagai pilihan yang bijaksana. Namun, perlu kita renungkan kembali: apakah netralitas benar-benar merupakan sikap yang adil? Dalam banyak kasus, memilih untuk tidak mengambil posisi justru dapat dianggap sebagai pengkhianatan yang halus terhadap kebenaran.
Ketika kita memilih untuk diam di tengah ketidakadilan, kita secara tidak langsung memberi ruang bagi kebathilan untuk berkembang. Kebenaran, yang seharusnya menjadi landasan moral dan etika dalam masyarakat, bisa tereduksi menjadi sekadar opini, jika kita tidak bersuara. Dengan tidak menunjukkan dukungan terhadap kebenaran, kita membiarkan kebathilan menguasai narasi dan merusak tatanan sosial yang sehat.
Sikap netral juga bisa menciptakan ilusi bahwa semua pandangan setara, padahal tidak semua kebenaran layak untuk dipertahankan. Dalam konteks ini, keberanian untuk mengambil sikap sangat penting. Mendukung kebenaran bukan berarti kita mengabaikan dialog atau mengesampingkan keberagaman pendapat, tetapi lebih kepada menegaskan nilai-nilai yang benar dan adil.
Dalam situasi di mana kebenaran sedang terancam, keberanian untuk berbicara adalah bentuk tanggung jawab sosial. Mari kita ingat bahwa diamnya kita bisa diartikan sebagai persetujuan terhadap kebathilan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak hanya menyatakan sikap, tetapi juga berkontribusi dalam memperjuangkan kebenaran demi keadilan dan kesejahteraan bersama.
Dengan bersuara dan mengambil posisi, kita tidak hanya melindungi kebenaran, tetapi juga menciptakan ruang untuk perubahan positif. Mari kita berkomitmen untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga menjadi agen perubahan dalam memperjuangkan kebenaran di tengah konflik yang ada.

