Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan fenomena di mana pejabat publik didominasi oleh artis, pengusaha, dan anak-anak penguasa. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai ketidakmampuan mereka untuk memahami dan membela kepentingan rakyat. Dengan latar belakang yang seringkali jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat, para pemimpin ini cenderung lebih fokus pada akumulasi kekayaan dan fasilitas mewah.
Dominasi elit dalam pemerintahan menciptakan jarak yang semakin lebar antara penguasa dan rakyat. Ketidakpuasan masyarakat pun meningkat, dan wajar jika mereka merasa diabaikan. Rakyat melihat pejabat mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok daripada memikirkan solusi untuk masalah yang dihadapi sehari-hari, seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.
Penting bagi kita untuk merenungkan: apa makna kepemimpinan? Seharusnya, pemimpin bukan hanya sekadar penguasa yang memiliki kekayaan, tetapi juga menjadi pelayan rakyat yang siap mendengarkan dan merespons kebutuhan mereka. Rakyat berhak mendapatkan pemimpin yang memahami realitas kehidupan mereka dan berkomitmen untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama.
Maka dari itu, marilah kita dorong pemimpin untuk lebih dekat dengan rakyat. Kita perlu mendorong partisipasi aktif dalam proses politik, agar suara-suara yang terpinggirkan bisa terdengar dan diakomodasi. Dengan demikian, kita bisa menciptakan pemerintahan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Ketidakpuasan yang meluap-luap bukanlah sekadar bentuk kemarahan, tetapi juga panggilan untuk perubahan. Rakyat harus bersuara, dan para pemimpin harus bersedia untuk mendengarkan. Dengan kolaborasi yang baik antara pemimpin dan rakyat, kita bisa membangun masa depan yang lebih baik untuk semua.

