Sangat mustahil jika kesejahteraan dibangun di atas keterjajahan pemikiran, keserakahan sikap, kebodohan pengetahuan, dan kemarahan tindakan. Kalimat ini menemukan relevansinya yang paling nyata dalam kondisi ketenagakerjaan Indonesia hari ini, ketika buruh dihadapkan pada kebijakan pengupahan yang diklaim adil, namun terasa jauh dari realitas hidup pekerja.
PP Pengupahan 2026 kembali menempatkan upah sebagai persoalan teknokratis dirumuskan lewat angka inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan variabel alfa tanpa keberanian mengakui kenyataan paling mendasar: upah buruh belum mampu mengejar kebutuhan hidup layak. Dalam logika ini, buruh diperlakukan bukan sebagai manusia dengan kebutuhan riil, melainkan sebagai variabel penyesuaian demi stabilitas pasar dan kepentingan investasi.
Keterjajahan pemikiran tampak ketika negara lebih percaya pada rumus ekonomi daripada suara pekerja. Keserakahan sikap terlihat saat keuntungan korporasi dilindungi, sementara daya beli buruh terus tergerus. Kebodohan pengetahuan muncul ketika kebijakan menutup mata terhadap fakta lapangan: kerja kontrak yang berkepanjangan, outsourcing tanpa kepastian, jam kerja panjang, dan ancaman PHK yang terus membayangi. Semua itu akhirnya melahirkan kemarahan tindakan bukan karena buruh anti pembangunan, melainkan karena mereka terus dipaksa bertahan hidup di bawah standar kewajaran.
Negara seharusnya bekerja untuk melindungi yang lemah, bukan menormalkan ketimpangan. Pengupahan bukan sekadar soal menjaga iklim usaha, melainkan mandat konstitusional untuk menjamin penghidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya. Tanpa keberpihakan yang nyata, PP Pengupahan hanya akan menjadi instrumen legal yang merapikan ketidakadilan.
Jika kesejahteraan benar-benar menjadi tujuan, maka kebijakan harus dibangun di atas kemerdekaan berpikir, etika keadilan, pengetahuan yang berpihak pada realitas, dan tindakan yang beradab. Tanpa itu, PP Pengupahan 2026 bukan jalan menuju kesejahteraan, melainkan penegasan bahwa buruh kembali diminta berkorban atas nama stabilitas yang tak pernah mereka nikmati.

