Oleh: Dhani dan Anggi Nugraha
Undang-Undang Cipta Kerja sejak awal dipromosikan sebagai terobosan besar untuk menciptakan lapangan kerja dan menarik investasi. Narasi yang dibangun adalah efisiensi regulasi, kemudahan berusaha, dan percepatan pertumbuhan ekonomi. Namun dalam praktiknya, undang-undang ini justru menunjukkan wajah sebaliknya: alih-alih menjadi solusi, ia berubah menjadi sumber persoalan baru yang membebani negara dan merugikan pekerja.
Janji investasi yang masif ternyata dibayar mahal. Negara dihadapkan pada potensi kerugian fiskal hingga triliunan rupiah, meningkatnya ketidakpastian hukum, serta melemahnya fungsi negara dalam melindungi hak-hak dasar pekerja. Beban ini bukan hanya soal angka di atas kertas anggaran, tetapi menyangkut masa depan kesejahteraan rakyat dan kedaulatan kebijakan publik.
Keringanan regulasi yang diberikan kepada korporasi termasuk dalam sektor strategis seperti energi tidak diimbangi dengan penguatan perlindungan tenaga kerja. Privatisasi dan liberalisasi berjalan cepat, sementara jaminan kepastian kerja, standar perlindungan, dan posisi tawar pekerja justru melemah. Akibatnya, manfaat ekonomi yang dijanjikan hanya dinikmati segelintir pihak, sedangkan risiko dan kerugiannya ditanggung oleh negara dan kaum pekerja.
Inilah paradoks UU Cipta Kerja: keuntungan segelintir elite berakar dari kerugian kolektif. Hilangnya kepastian kerja, turunnya standar perlindungan, serta memburuknya hubungan industrial bukan sekadar dampak sampingan, melainkan konsekuensi struktural dari kebijakan yang lebih berpihak pada modal dibandingkan pada manusia yang bekerja.
Bagi kami, kaum pekerja, persoalan ini bukan sekadar soal regulasi teknis atau iklim investasi. Ini adalah soal keadilan. Undang-undang yang diklaim demi kesejahteraan bersama tidak boleh menjadi instrumen yang meminggirkan pekerja dan membebani negara demi keuntungan segelintir pemilik modal.
Ironisnya, dukungan terhadap UU Cipta Kerja justru datang dari banyak kalangan pengusaha, termasuk kepentingan modal asing, yang melihat Indonesia semata sebagai pasar tenaga kerja murah dan sumber keuntungan. Lebih memprihatinkan lagi, terdapat aktor-aktor domestik yang ikut membela kebijakan ini bukan atas nama kepentingan bangsa, melainkan demi keuntungan pribadi dan kelompoknya sendiri. Di sinilah wajah kolonialisme gaya baru muncul: bukan melalui penjajahan fisik, tetapi lewat regulasi yang melemahkan kedaulatan ekonomi dan martabat pekerja.
Serikat Pekerja menegaskan satu hal: pembangunan ekonomi tidak boleh dibangun di atas pengorbanan hak-hak pekerja. Kepastian kerja, perlindungan sosial, dan keadilan hubungan industrial harus ditempatkan di atas kepentingan modal. Negara tidak boleh menjadi pelayan kepentingan kapital, melainkan pelindung rakyatnya.
Jika UU Cipta Kerja terus dipertahankan tanpa koreksi mendasar, maka yang sedang diciptakan bukanlah lapangan kerja, melainkan ketimpangan baru di mana negara menanggung beban, pekerja menanggung risiko, dan segelintir elite menikmati keuntungan.

