Dalam era informasi yang serba cepat ini, kita sering kali dihadapkan pada fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan: masyarakat modern yang “sakit”. Istilah ini tampaknya sangat relevan dengan pernyataan Tom Nichols yang menggambarkan bagaimana kita cenderung membenci ahli tetapi memuja pendapat amatir.
Kita hidup di tengah lautan informasi, di mana setiap orang memiliki platform untuk berbagi pandangan, terlepas dari latar belakang pengetahuan mereka. Hal ini menyebabkan munculnya suara-suara yang, meskipun tidak berbasis pada keahlian, sering kali lebih didengar dan dihargai. Ini adalah ironi di zaman digital: di saat kita seharusnya lebih terdidik dan terbuka, justru kita semakin cenderung mengabaikan suara-suara yang berpengalaman dan berbasiskan penelitian.
Fenomena ini menunjukkan ketidakpercayaan yang meningkat terhadap pakar dan ahli. Banyak dari kita lebih memilih untuk mendengarkan pendapat yang sesuai dengan keinginan atau keyakinan kita, ketimbang mencari kebenaran yang mungkin tidak nyaman. Ketika informasi menjadi sangat mudah diakses, kita perlu lebih bijak dalam memilah mana yang bernilai dan mana yang hanya sekadar opini.
Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi kita untuk mengedukasi diri sendiri tentang cara menganalisis informasi secara kritis. Kita perlu menghargai proses belajar dan menghormati keahlian yang telah dibangun melalui pengalaman dan penelitian. Hanya dengan cara ini kita bisa membangun masyarakat yang lebih sehat dan berpengetahuan, di mana suara ahli kembali didengar dan dihargai.
Dalam menghadapi tantangan zaman modern, kita harus berani bertanya: Apakah kita akan terus terjebak dalam siklus memuja pendapat amatir, ataukah kita siap membuka telinga dan pikiran untuk mendengarkan suara-suara yang benar-benar memiliki pengetahuan dan pengalaman? Pilihan ada di tangan kita.

