Hari Buruh Internasional atau lebih dikenal dengan May Day seharusnya menjadi simbol perlawanan kaum buruh, momen untuk mengingat perjuangan mereka dalam memperjuangkan hak-hak yang sering terabaikan. Namun, di Indonesia, 1 Mei telah diubah menjadi hari libur nasional yang lebih dihayati sebagai hari perayaan ketimbang perlawanan.
Mengapa perlawanan yang seharusnya menjadi inti dari May Day ini tergeser menjadi sekadar perayaan? Dalam perjalanan sejarah, kita melihat bahwa May Day lahir dari jeritan dan perjuangan para pekerja yang menuntut keadilan, upah yang layak, dan kondisi kerja yang manusiawi. Namun, saat ini, banyak dari kita yang mungkin lebih memilih merayakan hari ini dengan berpiknik atau berlibur, seolah kita telah mencapai semua yang diperjuangkan oleh generasi sebelumnya.
Dalam renungan ini, kita perlu bertanya: Apakah kita telah melupakan makna sesungguhnya dari perjuangan ini? Di tengah kondisi sosial dan ekonomi yang masih tidak adil bagi banyak pekerja, menjadikan 1 Mei hanya sebagai hari libur sama dengan mereduksi suara mereka menjadi kebisuan. Dengan mengabaikan esensi perjuangan kaum buruh, kita seolah melegitimasi ketidakadilan yang masih ada.
Hari ini, ketika kita menikmati waktu libur, marilah kita merenungkan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para buruh yang datang sebelum kita. Mereka tidak hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk masa depan yang lebih baik bagi generasi berikutnya. Adakah kita cukup peka untuk memahami bahwa perayaan yang kita nikmati saat ini adalah hasil dari perjuangan keras mereka?
Mari kita jadikan May Day bukan hanya sebagai hari libur, tetapi sebagai momen untuk kembali menegaskan komitmen kita dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Biarlah setiap 1 Mei menjadi pengingat bahwa perjuangan belum berakhir, dan solidaritas kita terhadap sesama pekerja adalah kunci untuk mencapai keadilan sosial yang sejati.
