Oleh : Fahmi Amhar
Kebijakan tarif impor yang digagas kembali oleh Donald Trump dalam kampanye pilpresnya tahun 2024–2025, terutama wacana kenaikan tarif universal 10% atas seluruh barang impor, merupakan langkah strategis proteksionisme ekonomi yang sangat berisiko tinggi. Kebijakan ini bukan hanya mengguncang sistem perdagangan global, tetapi juga berpotensi membuka peluang bagi lahirnya kekuatan ekonomi baru di luar Amerika Serikat, termasuk dari dunia Islam.
Dari perspektif Fiqih Islam dan Politik Ekonomi Islam, khususnya sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab karya Taqiyyuddin An-Nabhani seperti An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, As-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla, kebijakan semacam ini mencerminkan bentuk nyata dari kerakusan sistem kapitalisme yang berbasis kepentingan nasional sempit (naqid al-maslahah al-‘ammah).
Islam secara prinsip tidak melarang negara menjaga kedaulatan ekonominya, namun metode yang ditempuh oleh kapitalisme — seperti tarif sepihak untuk memukul pesaing dagang — dianggap zhalim karena melanggengkan ketidakadilan dalam perdagangan internasional. Islam mewajibkan prinsip keadilan, kejujuran, dan kesalingan (musawah wa ta’adul) dalam muamalah, termasuk antarnegara.
Apakah Trump Bunuh Diri Ekonomi?
Secara ekonomi murni, kebijakan Trump bisa disebut bunuh diri ekonomi jangka panjang. Mengapa?
- AS bergantung pada rantai pasok global. Barang-barang manufaktur AS sangat banyak diproduksi di luar negeri — mulai dari semikonduktor, barang elektronik, hingga bahan baku industri berat.
- Kenaikan tarif akan menaikkan biaya hidup rakyat AS sendiri, sebab harga barang impor otomatis naik. Inflasi akan melonjak.
- Negara lain bisa membalas dengan tarif serupa terhadap produk AS.
- Investasi asing akan menjauh dari pasar AS jika dianggap tidak stabil atau mempersulit rantai pasok.
Dalam jangka pendek mungkin memberi efek “nasionalistik” positif di kalangan pemilih Trump. Namun jangka panjang, AS justru menyiapkan liang kubur ekonominya sendiri.
Lahirnya Blok Kekuatan Baru?
Kebijakan Trump justru bisa menjadi katalis lahirnya kekuatan adidaya baru di luar AS, terutama jika negara-negara yang menjadi korban tarif ini:
- Berkonsolidasi dalam perdagangan antar mereka,
- Mengembangkan sistem mata uang lintas negara non-dollar,
- Membangun aliansi ekonomi-politik yang mandiri,
- Meninggalkan ketergantungan pada pasar dan sistem keuangan AS.
Negara-negara seperti Tiongkok, Rusia, India, Iran, Turki, bahkan Indonesia dan Brasil tengah menjajaki kerja sama perdagangan bilateral/multilateral berbasis mata uang lokal (de-dollarization). BRICS+, SCO, dan RCEP menjadi alternatif baru yang semakin solid. AS mulai ditinggalkan bukan karena kekalahannya secara teknologi, tapi karena kesombongannya secara politik dan dagang.
Bagaimana Dunia Islam Bisa Memanfaatkan Momentum Ini?
Inilah saat yang tepat bagi negeri-negeri Muslim untuk bangkit dan memanfaatkan peluang strategis ini.
🕌 1. Menyatukan Visi Politik-Ekonomi Islam
Edukasi para pemimpin Muslim dan rakyat tentang pentingnya sistem ekonomi syariah yang kaffah.
Membangun kesadaran bahwa solusi jangka panjang bukan sekadar substitusi dagang, tapi transformasi sistem.
💱 2. Memperkuat Perdagangan Intra-Umat
Mendirikan Pasar Bersama Dunia Islam (Common Islamic Market).
Menghapus tarif dan hambatan non-tarif antarnegara Muslim.
💳 3. Meninggalkan Ketergantungan pada Dolar
Kembangkan Local Currency Settlement.
Bangun sistem pembayaran dan bursa syariah lintas negara Islam.
Eksplorasi mata uang digital berbasis emas (E-Dinar).
🛡 4. Membangun Blok Kekuatan Geopolitik Islam
Revitalisasi D-8 dan OIC agar jadi platform kebijakan bersama, bukan hanya simbolik.
Bentuk Dewan Kebijakan Ekonomi Islam Dunia.
🧭 5. Mengarusutamakan Dakwah Sistem Islam
Menawarkan Islam bukan hanya sebagai agama, tapi sebagai solusi peradaban.
Memenangkan opini publik melalui media, akademisi, dan think tank Muslim.
Penutup
Donald Trump, dengan kebijakan tarifnya yang unilateral dan eksklusif, mungkin sedang mencoba menyelamatkan ekonomi AS. Tapi dia justru membuka peluang bagi dunia non-Barat, khususnya dunia Islam, untuk bangkit dan mandiri.
Inilah momentum emas untuk membangun kekuatan kolektif umat, sebagaimana yang dahulu pernah menjadi pusat peradaban dunia. Saat dunia kehilangan keadilan dalam sistem kapitalis global, maka Islam adalah satu-satunya alternatif yang adil, stabil, dan sesuai fitrah manusia dan negara.
Sebagaimana dikatakan oleh Taqiyyuddin An-Nabhani:
“Jika umat Islam berhasil bersatu dalam satu negara dan satu sistem, maka kekuatan politik, militer, dan ekonominya akan melampaui seluruh negara di dunia.”

