Oleh; Endah Sri Rahayu
Di sebuah kota yang tak pernah benar-benar tidur, seorang wanita bernama Naira. Anggun dalam kesederhanaannya, dengan mata yang menyimpan tabah dan hati yang penuh doa. Naira adalah asisten tenaga kesehatan yang tangguh, seorang ibu dari dua anak laki-laki yang tengah tumbuh dalam dunia yang sunyi, dunia yang para pakar kesehatan sebut dengan istilah ‘spektrum autisme’. Dalam setiap detik kehidupan mereka, Naira adalah jangkar yang menjaga agar bahtera kecilnya tidak karam.
Namun, jangkar itu sering goyah oleh satu nama yaitu Bara. Pria yang telah menjadi simpul dari segala simpul takdir Naira. Royal pada dunia dan siapa saja yang memujanya, tetapi pelit akan cinta dan tanggung jawab pada Naira dan anak-anak mereka. Mereka tinggal di bawah satu atap, namun tanpa ikatan yang sah, sebuah keputusan yang dahulu Naira ambil karena terperangkap oleh janji-janji manis Bara yang kini hanya tinggal gema kosong.
Bara tidak memiliki pekerjaan tetap, namun angkuh seolah dunia tunduk di bawah kakinya. Ia sombong dengan gengsi yang kosong, merasa hebat karena gemerlap dunia yang semu. Naira menyaksikan dengan getir bagaimana pria itu menyulut kekosongan dalam rumah mereka, membawa janji-janji yang lebih sering gugur sebelum mekar.
“Bara,” suara Naira lembut namun bergetar, “Anak-anak butuh terapi rutin. Dokter merekomendasikan sesi tambahan untuk membantu perkembangan mereka.”
Bara menyandarkan tubuhnya di sofa, menyalakan rokok dengan santai. “Kamu kan punya penghasilan sendiri. Kenapa harus repot minta aku?” jawabnya dengan nada dingin.
Naira terdiam. Ucapan itu menusuk, tapi ia menelan lukanya dalam sunyi. Bukankah keluarga seharusnya saling menopang?. Namun Bara selalu melihat tanggung jawab sebagai beban yang tak ingin ia pikul. Ia lebih memilih untuk bebas akan kebebasan dunia.
Hari demi hari berlalu, dan Naira mulai muak dengan kepalsuan yang terus Bara hidangkan. Janji-janji yang tak pernah ditepati dan sikap yang semakin mengekangnya dalam kubangan ketidakpastian. Ia menyaksikan bagaimana ego Bara terus merambat, seperti penyakit kronis yang tak terdeteksi namun perlahan mematikan.
Dalam hening malam yang diselimuti doa, Naira akhirnya memutuskan untuk berserah. Ia ingin melepaskan diri dari rantai yang menjeratnya, dari hubungan yang hanya menghadirkan luka. Anak-anak adalah titipan Allah, dan ia yakin akan ada jalan bagi mereka meski tanpa Bara di sisinya.
“Aku ingin pergi,” ucap Naira tegas pada suatu pagi yang dingin.
Bara tertegun, tidak percaya dengan ketegasan yang jarang ia dengar dari wanita itu. “Pergi? Kamu serius?”
“Serius. Aku tidak ingin hidup dalam kebohongan ini lagi. Aku ingin hidup yang lebih baik untuk anak-anak dan diriku sendiri,” jawab Naira dengan suara yang mantap meski hatinya bergetar.
Bara tertawa sinis. “Kamu pikir hidup di luar sana lebih mudah?. Siapa yang mau menerima kamu dengan dua anak yang punya kebutuhan khusus?.”
Naira menatapnya dengan mata yang penuh keyakinan. “Allah akan mencukupi. Aku percaya itu.”
Keputusan itu adalah awal dari perjalanan yang berat namun penuh harapan. Naira meninggalkan Bara, membawa serta anak-anaknya dalam dekapan doa. Ia tahu hidup tak akan mudah, tetapi ada kekuatan dalam keyakinan yang tulus.
Waktu berlalu dan karma menemukan jalannya. Bara terpuruk dalam kesombongan yang berbuah penyakit yang menjijikkan ‘ulcer necrotic’ yang tak kunjung sembuh, membuatnya terasing dari dunia yang dulu memujanya. Semua orang menjauh, menyisakan kehampaan yang memakan dirinya sendiri.
Sementara itu, Naira menemukan cahaya baru. Seorang pria bernama Ilham hadir dalam hidupnya, seorang lelaki yang lembut namun tegas, yang menerima Naira dan anak-anaknya tanpa syarat. Ilham menuntun mereka dengan kasih yang tulus dan pemahaman agama yang menyejukkan.
“Kamu kuat, Naira. Aku ingin berjalan bersamamu, mendidik anak-anak ini dengan cinta dan iman,” ucap Ilham suatu sore yang tenang.
Naira tersenyum, air matanya jatuh tanpa beban. “Terima kasih, Ilham. Aku merasa Allah benar-benar mendengar doaku.”
Dalam perjalanan hidup yang penuh liku, Naira menemukan bahwa melepaskan bukan berarti kalah. Justru dalam keikhlasan, ia menemukan kemenangan sejati. Kemenangan atas ego, luka, dan ketidakpastian. Kini, ia melangkah dengan hati yang lapang, bersama anak-anaknya dan seorang pria yang mengajarkan bahwa cinta sejati selalu berpijak pada iman dan ketulusan.

