Oleh; Rangga L Tobing (Pangeran Sastra)
Seorang pengawal mendekati Sang Pangeran yang sedang duduk di sebuah ruangan penuh dengan tumpukan kertas dan tinta. Ruangan itu diterangi cahaya lembut dari jendela besar yang memandang ke taman kerajaan. Bunga-bunga bermekaran, dan suara burung yang bernyanyi menjadi musik latar alami.
Wajah sang pengawal terlihat tegang, seolah membawa beban pikiran yang tak terkatakan.Wajah pengawal tersebut tampak sedih, dia baru saja ditinggal istrinya, yang pergi bersama laki-laki lain yang lebih kaya dari dirinya. Padahal dia dikenal sebagai suami yang baik hati dan bertanggung jawab. Ia mencintai istrinya dengan sepenuh hati dan selalu berusaha memberikan yang terbaik, meski hidup mereka sederhana. Setiap pagi sebelum bertugas, ia selalu mencium kening istrinya dan berjanji untuk pulang membawa kebahagiaan. Namun, beberapa minggu lalu, dunianya hancur. Kata-kata istrinya sebelum pergi terus menggema di pikirannya: “Kau memang suami yang baik, tapi aku butuh kehidupan yang lebih dari sekadar kebaikanmu.” Meski patah hati, ia tidak bisa membenci istrinya. Ia hanya merasa kehilangan arah, bertanya-tanya apakah cinta yang ia berikan selama ini tidak cukup. Dengan beban berat itu, ia mendekati Pangeran untuk mencari jawaban.
“Pangeran, semua orang sepakat bila dengan cinta kehidupan akan menjadi bahagia. Namun sebaliknya, jika cinta pergi meninggalkan, kehidupan seperti bencana. Bencana yang membuat orang tidak lagi menginginkan adanya kehidupan ini. Lalu bagaimana kita menjaga agar cinta itu tidak pergi? Padahal kita tahu, semuanya akan berlalu, datang dan pergi. Sekarang kita mencintainya, besok bisa jadi kita berbalik membencinya,” tanya sang pengawal, suaranya bergetar, menggambarkan kebingungan yang mendalam.
Pangeran, yang tengah memegang sebuah kuas tinta, berhenti menulis. Ia mengangkat pandangannya dari lembaran puisi yang baru saja selesai. Sebuah senyuman kecil tersungging di bibirnya. Ia meletakkan kuas itu dengan hati-hati di samping kertasnya, lalu memandang sang pengawal dengan penuh perhatian, seolah mencoba membaca isi hatinya.
“Cinta tidak pernah meninggalkan kita,” jawab Sang Pangeran lembut. “Namun terkadang kita hanya tidak mendengarkan suaranya. Kita hanya mau mendengarkan suara yang kita anggap merdu, sehingga menutup telinga untuk suara-suara lainnya. Padahal, kesemuanya itu adalah suara cinta.”
Pengawal itu terdiam, terpaku mendengar jawaban Pangeran yang terdengar penuh makna. Tangannya tanpa sadar mengepal, seolah mencoba menahan gelombang emosi yang datang bertubi-tubi. Matanya berkaca-kaca, seperti menemukan sesuatu yang ia cari selama ini. Dadanya terasa sesak, namun perlahan sesak itu berganti dengan kehangatan yang lembut.
Pangeran melanjutkan, “Dalam kehidupan, kita sering menganggap kebahagiaan adalah cinta. Ketika kesedihan datang menyapa, kita mengatakan cinta telah pergi. Padahal, cinta tidak pernah benar-benar pergi. Kita hanya menutup telinga, sehingga tidak dapat mendengar suaranya yang bercerita melalui kesedihan itu. Kebahagiaan, kesedihan, suka, duka, keberhasilan, dan kegagalan, semuanya adalah bagian dari kehidupan. Kehidupan tidak dapat bercerita tentang cinta, melainkan cintalah yang akan menceritakan kepada kita tentang kehidupan.”
Seekor burung kecil hinggap di ambang jendela, mengepakkan sayapnya seolah membisikkan pesan: cinta ada di setiap detak kehidupan, bahkan di tengah kesedihan. Pangeran berhenti sejenak. Matanya menatap jauh ke luar jendela, ke arah taman di mana angin lembut menggerakkan bunga-bunga dengan penuh kasih. Burung-burung kecil terbang melintas, seolah ikut mendengarkan percakapan mereka.
“Jika kita mau mendengar suaranya, kita akan tahu bahwa cinta juga berbicara melalui kesedihan, kebencian, dan kegagalan. Agar kita dapat memahami arti kehidupan melalui semua itu. Cinta mengajarkan kedewasaan, bukan seperti anak kecil yang selalu meminta untuk dipahami. Cinta adalah sesuatu yang membuat kita dapat memahami; memahami diri sendiri, memahami orang lain, dan memahami banyak hal dari kehidupan ini.”
Pangeran menambahkan dengan suara yang lebih lembut, “Cinta, bagai angin yang berbisik melalui dedaunan. Ia tak pernah benar-benar pergi, hanya kadang tersembunyi di balik hiruk-pikuk kehidupan.”
Pengawal mulai mengangguk pelan. Kata-kata Pangeran mulai meresap ke dalam hatinya, tetapi ia masih merasa ada sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami.
“Pangeran, jika cinta itu tidak pernah pergi, mengapa begitu banyak perang terjadi atas nama cinta? Bukankah itu menunjukkan cinta telah berubah menjadi kebencian?”
Pangeran menghela napas panjang, seolah menanggung beban dari pertanyaan yang mendalam itu. Ia menatap pengawal dengan mata yang penuh kelembutan, lalu berdiri perlahan. Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju jendela, meletakkan tangannya di bingkai kayu jendela, dan menatap luasnya taman kerajaan yang diselimuti angin lembut. Angin membawa aroma bunga yang lembut, seperti pelukan yang tak terlihat.
“Peperangan terjadi karena orang-orang mengatasnamakan cinta dengan cara yang sempit. Mereka mengatakan cinta hanya ada di dalam kelompok-‘ku’, agama-‘ku’, dan tuhan-‘ku’. Mereka menutup telinga untuk mendengar suara cinta dari mereka yang berbeda. Jika saja mereka mendengar dengan hati yang terbuka, mereka akan memahami bahwa cinta adalah sesuatu yang melampaui batas-batas itu. Cinta sejati tidak membatasi, tidak mengkotak-kotakkan. Cinta sejati menyatukan dan mengajarkan kita untuk saling memahami.”
Pangeran kembali melanjutkan, kali ini dengan nada yang penuh kebijaksanaan, “Cinta adalah seperti matahari, pengawal. Kita mungkin merasa malam telah menelannya, tetapi ia selalu ada, hanya bersembunyi di balik cakrawala. Ketika kita membuka hati, kita akan merasakan cahayanya meski dari kejauhan.”
Pengawal terdiam cukup lama. Ia menatap tangannya yang gemetar, seolah mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar. Matanya kemudian beralih ke wajah Pangeran yang kini kembali mengarahkan perhatiannya ke lembaran kertas. Hatinya terasa lebih ringan, meski bekas luka itu tetap ada. Dalam keheningan itu, ia merasa seperti seorang musafir yang menemukan oase di tengah padang pasir. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kedamaian yang tulus, meski rasa kehilangan itu tetap ada di dalam hatinya.
Pengawal membuka matanya perlahan, menghela napas panjang seolah melepaskan beban yang selama ini mengikatnya. Ia menatap ke taman kerajaan yang penuh dengan kehidupan, bunga-bunga yang bergoyang diterpa angin seperti berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang tenang. Dalam hatinya, ia menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang memiliki seseorang, tetapi tentang bagaimana ia memahami dirinya sendiri, menerima luka, dan melihat kehidupan dengan hati yang lebih lapang. Ia merasa, meskipun ia kehilangan cinta dari seseorang, ia menemukan cinta dalam pengertian yang lebih besar—cinta yang selalu hadir dalam kehidupannya, bahkan dalam bentuk kehilangan itu sendiri.
“Jadi apa yang disebut dengan cinta itu, Pangeran?” tanya sang pengawal akhirnya, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.
Pangeran hanya tersenyum. Ia kembali mengambil kuas tintanya dan mulai menulis lagi di atas kertas. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata, “Cinta tidak perlu dijelaskan, pengawal. Cinta hanya perlu didengarkan.”
Dan di tengah keheningan itu, suara burung di luar jendela seolah menjadi jawaban. Suara cinta yang selalu ada, hanya menunggu untuk didengar. Pengawal menutup matanya sejenak, membiarkan kata-kata Pangeran bergema di hatinya. Dalam kesunyian, ia merasakan kehangatan yang lembut di hatinya, seolah cinta telah kembali berbisik melalui setiap napas kehidupannya.

