Oleh: Endah Sri Rahayu
Di antara ruang-ruang diskusi yang beraroma kopi,
Kami bertiga tersesat dalam wacana yang samar,
Berpacu dengan detak ambisi dan renungan yang menyelinap.
Di balik layar laptop dan catatan penuh coretan,
Ada sebuah labirin perasaan yang tak pernah rampung diteliti.
Cinta itu, seperti teori yang tak tuntas diuji,
Menyelinap di celah diskusi, menjelma siluet tak kasat mata.
Tatapannya, bagai cahaya dari proyektor tua,
Menyinari ruang yang suram, namun tak pernah cukup jelas,
Hanya bayang-bayang yang berpendar di dinding hatiku.
Aku, seperti tesis yang tertunda,
Mengumpulkan data diri yang tercerai,
Tak ingin disimpulkan sebelum usai menjelajahi makna diri.
Dia, sang matahari, berpendar bagi seorang wanita lain,
Wanita yang menyusun cinta seperti bibliografi,
Rapi, namun tahu referensinya tak pernah dirujuk.
Kami bertiga, seperti seminar yang kehilangan moderator,
Berputar dalam dialektika yang tak kunjung sinkron.
Aku membaca hipotesis luka di matanya,
Sementara dia, pria dengan kasih yang mengembara,
Tak tahu penelitian mana yang sebenarnya ingin diselesaikan.
Hatiku adalah pintu arsip yang terkunci rapat,
Bukan karena ketiadaan kunci,
Melainkan karena ia sengaja tak kuberikan.
Bukanlah cinta yang kucari di antara tumpukan wacana,
Melainkan jawaban tentang diriku yang masih menyimpan teka-teki.
Aku memilih mundur dari diskusi ini,
Menyerahkan podium kepada takdir,
Melarutkan diri dalam revisi perjalanan batin.
Aku lelah menjadi bab dalam narasi hati yang tak konklusif,
Lelah mengindeks perasaan yang bukan milikku.
Maka kubiarkan cinta itu tetap menjadi footnote,
Melayang dalam angin perpustakaan senyap,
Meninggalkan mereka di antara silabus takdir yang saling melengkapi.
Karena dalam kisah ini,
Bukan cinta yang menjadi subjek utama,
Melainkan aku yang ingin lulus dari keraguan,
Menemukan diriku di antara literatur jiwa yang kian memudar

